Senin, 14 Oktober 2013

wacana EYD


PERLU WAKTU
“Kita masing-masing adalah malaikat dengan satu sayap, untuk melihat indahnya dunia kita hanya akan bisa terbang dengan saling merangkul”

Aku dan suamiku, Richo, tidak selalu berjalan di dalam alunan musik yang sama. Aku seorang perfeksionis  yang teliti, sedangkan dia cenderung langsung bertindak. Sementara aku memikirkan masalah-masalah dunia dan memimpikan masyarakat yang bebas dari permusuhan. Dia lebih memilih percakapan yang ringan dan menghindari diskusi filosofis yang mendalam.
Baru akhir-akhir ini saja aku menganggap Richo sebagai orang yang romantis. Dalam suatu malam yang istimewa dia berkata, “Kau tahu Dewi, suara termanis yang datang dari mulutmu adalah namaku, Richo.”
“Benarkah?” tanyaku terkejut pada kesederhanaan pengakuannya.
“Ya.” Katanya dengan sangat lembut.
“Baiklah, aku akan lebih sering mengucapkan kata Richo”.
Senyum lebar merekah di bibirnya. “Terima kasih,” katanya tulus.
Aku menepati janjiku. Pada suatu hari yang cerah, aku mengemudi pulang dari supermarket dan melihat dia sedang tekun bekerja di halaman rumah kami. Betapa rindunya aku bekerja bersama untuk menata rumah di selah-selah waktu senggang kami. Sambil menghela napas, aku masuk ke dalam dan menyiapkan makan siang.
“Kamu lapar?” tanyaku dari pintu, sambil dipenuhi rasa ingin tahu tentang apa yang sedang dikerjakannya tadi. Karena biasanya dia menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat.
Aku membuka mulut untuk mempertanyakan kemajuannya yang lambat, tetapi ada sesuatu menghentikanku. Mungkin alisnya yang mengerut dan cara dia bersusah payah menempatkan rak-rak yang kecil itu.
“Nanti saja,” gumamnya, dan melanjutkan pekerjaannya, memindahkan dan menata kembali rak-rak tersebut.
Setelah selesai, dia memanggil, “Ayo lihat ke sini, Dewi.”
Aku memandangi halaman yang kini mulai dihiasi bunga-bunga cerah yang cantik nan indah, dan mulai bertanya, “Ada apa?” Tetapi sekali lagi, kata-kata membeku  dan tak terucap.
“Bagaimana menurutmu?” Dia menghapus keringat dari dahinya, tampak sangat senang dengan hasil kerjanya.
“Bagus.” Kataku, menyembunyikan kekecewaanku karena sejujurnya bunga-bunga tersebut tampak berantakan. Tetapi ini bukan saatnya mengkritik karyanya. Senyuman yang kuberikan sepertinya mempan, karena dia memberikanku sebuah pelukan.
Ketika musim dingin tiba, kabut tebal menghalangi penglihatanku keluar rumah. Namun berpendar di bawah sinar matahari, di sisi serambi kecil kami yang berpagar putih, aku menyaksikan penghormatan dari suamiku di dalam warna-warni bunga cinta yang menyala. Bunga-bunga itu bermekaran membentuk huruf-huruf D-E-W-I.

Terinspirasi dari buku Chicken Soup for the Soul Love Stories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar