PERLU WAKTU
“Kita masing-masing adalah malaikat dengan satu sayap, untuk melihat
indahnya dunia kita hanya akan bisa terbang dengan saling merangkul”
Aku dan suamiku,
Richo, tidak selalu berjalan di dalam alunan musik yang sama. Aku seorang
perfeksionis yang teliti, sedangkan dia
cenderung langsung bertindak. Sementara aku memikirkan masalah-masalah dunia
dan memimpikan masyarakat yang bebas dari permusuhan. Dia lebih memilih
percakapan yang ringan dan menghindari diskusi filosofis yang mendalam.
Baru akhir-akhir ini
saja aku menganggap Richo sebagai orang yang romantis. Dalam suatu malam yang
istimewa dia berkata, “Kau tahu Dewi, suara termanis yang datang dari mulutmu
adalah namaku, Richo.”
“Benarkah?” tanyaku
terkejut pada kesederhanaan pengakuannya.
“Ya.” Katanya dengan
sangat lembut.
“Baiklah, aku akan
lebih sering mengucapkan kata Richo”.
Senyum lebar merekah
di bibirnya. “Terima kasih,” katanya tulus.
Aku menepati janjiku.
Pada suatu hari yang cerah, aku mengemudi pulang dari supermarket dan melihat
dia sedang tekun bekerja di halaman rumah kami. Betapa rindunya aku bekerja
bersama untuk menata rumah di selah-selah waktu senggang kami. Sambil menghela
napas, aku masuk ke dalam dan menyiapkan makan siang.
“Kamu lapar?” tanyaku
dari pintu, sambil dipenuhi rasa ingin tahu tentang apa yang sedang
dikerjakannya tadi. Karena biasanya dia menyelesaikan sesuatu dengan lebih
cepat.
Aku membuka mulut
untuk mempertanyakan kemajuannya yang lambat, tetapi ada sesuatu
menghentikanku. Mungkin alisnya yang mengerut dan cara dia bersusah payah
menempatkan rak-rak yang kecil itu.
“Nanti saja,”
gumamnya, dan melanjutkan pekerjaannya, memindahkan dan menata kembali rak-rak
tersebut.
Setelah selesai, dia
memanggil, “Ayo lihat ke sini, Dewi.”
Aku memandangi halaman
yang kini mulai dihiasi bunga-bunga cerah yang cantik nan indah, dan mulai
bertanya, “Ada apa?” Tetapi sekali lagi, kata-kata membeku dan tak terucap.
“Bagaimana menurutmu?”
Dia menghapus keringat dari dahinya, tampak sangat senang dengan hasil
kerjanya.
“Bagus.” Kataku,
menyembunyikan kekecewaanku karena sejujurnya bunga-bunga tersebut tampak
berantakan. Tetapi ini bukan saatnya mengkritik karyanya. Senyuman yang
kuberikan sepertinya mempan, karena dia memberikanku sebuah pelukan.
Ketika musim dingin
tiba, kabut tebal menghalangi penglihatanku keluar rumah. Namun berpendar di
bawah sinar matahari, di sisi serambi kecil kami yang berpagar putih, aku
menyaksikan penghormatan dari suamiku di dalam warna-warni bunga cinta yang
menyala. Bunga-bunga itu bermekaran membentuk huruf-huruf D-E-W-I.
Terinspirasi dari buku Chicken Soup
for the Soul Love Stories
Tidak ada komentar:
Posting Komentar